Saya duduk di sebuah kafe kecil di Jakarta Selatan. Di meja sebelah, dua orang muda berdiskusi serius soal pitch startup mereka. Yang menarik? Mereka bukan bicara tentang pendanaan, tim, atau ide produk. Mereka mendiskusikan “mana AI yang bisa nulis copy iklan yang nggak ketahuan AI.”

Ini bukan percakapan aneh di 2025. Justru semakin umum. Karena hari ini, AI sudah bukan hal baru. Ia sudah jadi bahan diskusi serius di kafe, ruang tamu, kelas, dan kantor. Tapi pertanyaannya bukan cuma “apa itu AI?” lagi. Yang lebih penting: AI mana yang sedang benar-benar berpengaruh sekarang? Dan kenapa?


Hume AI – AI yang Nggak Cuma Paham Kata, Tapi Juga Rasa

Saya sempat mencoba demo publik dari Hume AI lewat salah satu forum diskusi daring. Cuma pakai suara, saya berbicara, dan Hume “menebak” perasaan saya. Jujur saja, prediksinya kadang bikin saya merasa sedikit terbaca—tapi juga agak ngeri.

Bayangkan AI yang bisa tahu kamu sedang marah atau sedih hanya dari intonasi. Buat customer service, ini mungkin jadi penyelamat. Tapi buat sebagian orang lain, ini bisa terasa seperti pelanggaran privasi yang halus.

Hume AI punya tujuan besar: bikin komunikasi digital jadi lebih manusiawi. Tapi bagi saya pribadi, kesan terbesarnya bukan teknisnya—melainkan kesan bahwa AI akhirnya mulai “menebak rasa,” bukan cuma kata.


Grok AI – Suka atau Tidak, Musk Bikin Geger Lagi

Saya skeptis saat pertama kali dengar nama Grok. Katanya AI dari Elon Musk yang lebih berkarakter daripada ChatGPT. Tapi begitu mencobanya, saya mengerti kenapa orang-orang terpecah antara suka dan sebel.

Grok ini, kalau boleh jujur, sombong tapi pintar. Dia jawab cepat, kadang sinis, kadang sok tahu—tapi setidaknya beda. Dia punya akses ke platform X (dulu Twitter), dan itu berarti dia tahu apa yang sedang ramai dibicarakan secara real-time. Saya tanya soal topik viral tadi malam—jawabannya segar dan update.

Tapi ya, AI yang punya “kepribadian” itu tricky. Kadang terasa menyenangkan, kadang malah bikin males. Saya rasa Grok adalah eksperimen yang berhasil setengah jalan. Dan mungkin memang tidak dibuat untuk semua orang.


Perplexity – Buat yang Capek Klik Banyak Link

Ini salah satu favorit pribadi saya. Saya suka cari informasi cepat tanpa harus baca artikel panjang atau blog yang dipenuhi iklan. Perplexity datang membawa kesegaran. Saya ketik satu pertanyaan, dan ia langsung kasih jawaban padat—beserta sumbernya. Ini seperti punya penjelasan gaya Wikipedia, tapi dengan gaya bahasa lebih santai.

Saya pernah pakai ini untuk cari referensi tulis artikel, bantu adik saya cari ringkasan tugas kuliah, bahkan untuk mastiin berita hoaks atau tidak.

Perplexity bukan spektakuler. Tapi justru karena dia tidak mencoba tampil megah, ia jadi berguna. Dan kadang, kegunaan lebih penting dari kecanggihan.


Claude 3 dan Gemini – Dua Nama Baru yang Mulai “Ngomong Banyak”

Orang-orang mulai berpaling ke Claude karena katanya “lebih hati-hati”, “lebih sopan”, dan “nggak suka ngaco”. Dan memang, saya coba beberapa skenario uji teks dan Claude terasa seperti guru privat yang kalem. Tidak terlalu pintar dalam bercanda, tapi kuat di pemahaman konteks panjang.

Sementara Gemini dari Google? Dia terasa seperti mesin besar. Bukan cuma karena di-backup data raksasa Google, tapi juga karena kemampuannya untuk paham teks, suara, gambar, sampai video. Tapi ya, terasa agak dingin. Efisien, tapi kurang personal.

Buat kebutuhan kerja profesional, dua-duanya lebih aman. Tapi kalau kamu cari pengalaman ngobrol yang lebih hidup, mereka belum bisa kalahkan ChatGPT atau Grok dalam hal gaya komunikasi.


Yang Jarang Dibicarakan: AI yang Muncul Tanpa Kita Sadari

Di luar sana, saya melihat AI tumbuh seperti akar pohon—tidak terlihat di permukaan, tapi mengakar di mana-mana. Guru yang pakai AI buat bikin kisi-kisi soal. Penjual online yang pakai AI buat edit foto produknya. Ibu rumah tangga yang pakai AI buat transkrip resep video YouTube.

AI yang sedang happening hari ini bukan cuma soal nama besar. Tapi juga tentang bagaimana kita diam-diam mulai mengandalkannya untuk hal-hal kecil, tanpa sadar.


Bukan Semua Tentang Kehebatan – Tapi Juga Tentang Kekhawatiran

Saya nggak bisa tutup cerita ini tanpa menyebut sisi lain. Beberapa teman saya yang bekerja di dunia kreatif mulai merasa tertekan. AI bisa bikin konten visual, suara, bahkan naskah. Bukan karena hasilnya lebih bagus—tapi karena lebih cepat.

Lalu muncul pertanyaan klasik yang kembali relevan: “Kalau AI bisa kerjain semua, kita ini gunanya apa?”

Di saat yang sama, saya juga tahu teman saya yang berkebutuhan khusus merasa sangat terbantu karena sekarang dia bisa berkomunikasi dengan lebih lancar berkat AI voice enhancer. Jadi ya, AI ini beneran dua sisi mata uang.


Penutup: Siapa yang Menang? Yang Relevan Buatmu

Jadi, AI mana yang paling happening? Jawaban saya: tergantung siapa kamu, dan apa kebutuhanmu.

Kalau kamu pebisnis yang butuh respons cepat dan real-time: Grok atau Perplexity bisa jadi andalan.
Kalau kamu bekerja dengan sensitivitas manusia, seperti pendidikan atau kesehatan: Hume dan Claude lebih cocok.
Kalau kamu butuh mesin besar yang serba bisa? Gemini ada di situ.

AI terbaik tahun ini bukan yang paling banyak disebut, tapi yang paling terasa dampaknya dalam keseharianmu.

Humane AI Pin dan Open Interpreter: Ketika AI Tak Lagi Hidup di Layar

Leave A Comment

All fields marked with an asterisk (*) are required